Membaca
judul di atas anda mungkin bertanya-tanya, apa hubungan antara angklung
dengan pendidikan dan persahabatan? Bagaimana sebuah alat musik
tradisional dari bambu dapat melatih kepekaan bermusik dan pada saat
yang sama juga mengajarkan pentingnya kerjasama dan mempererat
persahabatan? Mari kita simak dalam tulisan ini.
Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang terbuat dari
bambu. Sebuah angklung terdiri beberapa tabung bambu (tergantung
fungsinya) yang berbeda ketinggian dan diameternya untuk mencapai
harmoni nada yang diinginkan. Sebuah angklung melodi biasanya terdiri
dari dua tabung yang menghasilkan nada terpaut satu oktaf,sementara
angklung pengiring (accompagnement)terdiri daritiga atau bahkan empat tabung tergantung accord
yang dimainkan. Tabung-tabung tersebut kemudian diikatkan pada rangka
batang bambu untuk membentuk alat musik angklung yang lengkap. Sebuah
angklung hanya menghasilkan satu nada, jadi untuk memainkan sebuah lagu
dibutuhkan beberapa set angklung yang dimainkan oleh banyak orang.
Kurang lebih seperti kelompok paduan suara dalam membawakan sebuah
lagu. Untuk memainkannya, kita cukup menggoyangkan atau menggetarkannya.
Sejarah
Angklung dipercayai berasal dari pulau Jawa, khususnya tanah Sunda.
Beberapa catatan dari orang Eropa yang melakukan perjalanan ke tanah
Sunda pada abad 19 mengatakan bahwa di daerah ini sering terlihat
"permainan" angklung oleh orang-orang setempat. Angklung memang juga
dikenal di daerah-daerah lain di pulau Jawa, tetapi di tanah Sunda alat
musik ini lebih populer.
Pada awalnya, angklung tradisional digunakan oleh orang-orang desa
pada masa itu sebagai bagian dari ritual kepada Dewi Sri untuk meminta
panen melimpah. Umumnya dibawakan dalam tangga nada pentatonis (terdiri
dari lima nada) dan memainkan melodi yang berulang. Acara seperti ini
biasanya dilakukan di ruang terbuka, sambil menari-nari dengan dengan
diiringi alat musik tradisional lain seperti goong, kendang, dan
tarompet. Kesenian semacam ini masih dilestarikan di beberapa tempat di
Jawa Barat.
Lahirnya Angklung Modern
Awal abad 20, angklung tradisional mulai menghilang. Pada tahun
1938, Daeng Sutigna, seorang guru berpendidikan Belanda di Bandung,
menciptakan angklung dalam tangga nada diatonis yang terdiri dari tujuh
nada. Hal ini menandai lahirnya angklung modern. Kelebihan angklung ini
adalah ia dapat membawakan lagu-lagu Barat klasik dan populer yang
rata-rata bernada diatonis, sehingga dapat menjangkau selera musik
masyarakat yang lebih luas.
Kini lagu yang dimainkan tidak lagi berkisar pada lagu-lagu
tradisional, tetapi juga lagu-lagu klasik, lagu pop, new age, bahkan
lagu rock. Dengan angklung modern, lagu rock melodius seperti We Are
the Champion dan Bohemian Rapshody dari Queen dapat dibawakan oleh alat
musik angklung!
Angklung "jenis baru" ini pertama kali diperkenalkan pa Daeng kepada
sekelompok anak-anak pramuka. Setelah dipertunjukkan oleh murid-murid
sekolah pada acara Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung,
angklung diatonis atau angklung modern ini semakin dikenal masyarakat
hingga saat ini menjadi kegiatan ekstrakurikuler di berbagai sekolah.
Memang pada awalnya pak Daeng menginginkan angklung sebagai alat
pendidikan. Mottonya adalah 5 M : Murah, Mudah, Menarik, Massal, dan Mendidik. Murah, karena bahan-bahan untuk membuat alat musik ini murah dan mudah didapat di Indonesia. Mudah, karena untuk memainkan angklung seseorang tidak perlu memiliki keterampilan khusus. Menarik, dilihat dari keunikannya bentuknya dan cara memainkannya. Massal karena untuk memainkannya melibatkan banyak orang. Dan Mendidik dalam arti alat musik ini memiliki unsur pendidikan selain musik.
Alat Musik Pendidikan dan Persahabatan
Untuk memainkan sebuah lagu sederhana, seseorang dapat memainkan
satu set angklung sendiri, atau membentuk sebuah kelompok yang terdiri
dari beberapa orang (tergantung lagunya). Semakin kompleks aransemen
sebuah lagu yang dimainkan, semakin banyak angklung dan pemain yang
dibutuhkan. Disini unsur massal dari angklung berperan. Terlibatnya
banyak orang dalam memainkan sebuah lagu, melatih para pemain menjadi
peka akan musik, lagu dan bagian-bagiannya, dan juga mendidik mereka
akanpentingnya kerjasama antar anggota kelompok yang memegang nada yang
berbeda agar bersama-sama dapat menghasilkan musik yang indah dan
harmoni.
Kemudahan dalam memainkan alat musik ini membuat banyak orang
tertarik akan angklung. Karena sebuah angklung hanya menghasilkan satu
nada, orang yang memegang angklung nada tertentu hanya memainkannya
jika nada tersebut muncul dalam lagu. Cukup mengikuti instruksi dari
konduktor, tanpa memerlukan keahlian musik tertentu. Karena kemudahan
inilah, di acara-acara pertunjukan musik angklung, penonton sering ikut
dilibatkan untuk bermain setelah pertunjukan utama selesai. Contohnya
yang dilakukan di Saung Angklung Udjo, Bandung. Setelah pertunjukan
yang dibawakan oleh anak-anak selesai, para penonton yang rata-rata
wisatawan mancanegara diajak sama-sama bermain angklung, dan karenanya
hubungan antara pemain dan penonton semakin dekat dan suasananya lebih
bersahabat.
Kemudahan dan unsur persahabatan ini pula yang menjadikan angklung
semakin diterima sebagai "duta musik" Indonesia di luar negeri. Musik
angklung seringkali dipertunjukkan dalam acara pertukaran budaya
Indonesia di luar negeri, dan kini bermunculan grup-grup angklung di
berbagai negara. Angklung telah menjadi identitas bangsa dan duta musik
Indonesia dalam menjalin persahabatan dengan bangsa lain. Maka tidak
salah jika angklung disebut alat musik persahabatan.
Jika anda ingin mengetahui lebih jauh dan melihat lebih jelas
tentang keunikan angklung, sempatkan untuk singgah ke Saung Angklung
Udjo di jalan Padasuka, Bandung. Disana anda akan mengerti mengapa
angklung dikatakan alat musik persahabatan.(DD) |